Menuju Babak Baru Pemerintahan Desa

Sabtu, 26 November 2011

PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh: Hapipi Jayadi
A. TEORI PENGEMBANGAN LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT (LED) PEMBERDAYAAN
Pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu konsep pembangunan ekonomi yang mendasarkan pada pendayagunaan sumber daya lokal yang ada pada suatu masyarakat, sumber daya manusia, sumber daya alam. Pendayagunaan sumber daya tersebut dilakukan oleh masyarakat itu sendiri bersama pemerintah lokal maupun kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Untuk mencapai tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam pengembangan ekonomi lokal.
Menurut World Bank (2001) pengembangan ekonomi local sebagai proses yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, usahawan, dan organisasi non pemerintah untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di tingkat lokal.
Menurut Blakely and Bradshaw dalam Suandy (1998) pengembangan ekonomi lokal adalah proses dimana pemerintah local dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan
Menurut International Labour Organization ILO (2001) Pengembangan ekonomi lokal adalah proses partisipatif yang mendorong kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah dan masyarakat pada wilayah tertentu, yang memungkinkan kerjasama dalam perancangan dan pelaksanaan strategi pembangunan secara umum, dengan menggunakan sumber daya lokal dan keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi.
Dari sisi masyarakat, pengembangan ekonomi lokal diartikan sebagai upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usahanya guna membangun kesejahteraannya. Kesejahteraan tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi adat istiadat dan agamanya, bagi usahanya, dan bagi harga dirinya sebagai manusia. Semua jaminan tersebut tidak dapat diperoleh dari luar sistem masyarakat karena tidak berkelanjutan, dan oleh karena itu harus diupayakan dari sistem masyarakat itu sendiri yang kerap kali disebut kemandirian.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001).
Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat itu di landasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Dalam ekonomi yang makin terbuka, ekonomi makin berorientasi pada pasar, peluang dari keterbukaan dan persaingan pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah. Dalam keadaan ini harus di cegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, dan golongan ekonomi yang lebih maju. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan pemihakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomi lokal.
Ada beberapa tujuan dan sasaran yang ingin di capai dalam pengembangan ekonomi local masyarakat ini, diantaranya adalah:
1. Terlaksananya upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal melalui pelibatan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani dalam suatu proses yang partisipatif.
2. Terbangun dan berkembangnya kemitraan dan aliansi strategis dalam upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal diantara stakeholder secara sinergis.
3. Terbangunnya sarana dan prasarana ekonomi yang mendukung upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal.
4. Terwujudnya peningkatan PAD dan PDRB.
5. Terwujudnya peningkatan pendapatan masyarakat, berkurangnya pengangguran, menurunnya tingkat kemiskinan.
6. Terwujudnya peningkatan pemerataan antar kelompok masyarakat, antar sektor dan antar wilayah.
7. Terciptanya ketahanan dan kemandirian ekonomi masyarakat lokal. Dalam penelitian ini ada beberapa indikator yang digunakan Penulis untuk mengukur kondisi perekonomian masyarakat dalam berkembangnya ekonomi lokal masyarakat sekitar yaitu: pendapatan masyarakat, lapangan pekerjaan, dan perkembangan aktivitas ekonomi.
a) Pendapatan Masyarakat
Setiap manusia tidak luput dari tuntutannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat kebutuhan hidup manusia berbeda-beda tergantung pada tersedianya jumlah barang dan jasa yang di peroleh, sedangkan untuk memperoleh barang dan jasa itu ditentukan oleh pendapatan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh (Djoyodikusuma dalam Ediwarsyah 1987) yakni: tingkat hidup ditentukan oleh jumlah dan mutu barang dan jasa yang di pakai, jika seseorang atau sesuatu bangsa dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan memuaskan karena ada tersedia cukup banyak barang dan jasa maka tingkat hidupnya adalah tinggi, dan sebaliknya jika barang dan jasa sangat terbatas jumlahnya maka tingkat hidupnya rendah, jumlah barang dan jasa yang mempengaruhi hidup itu adalah pendapatan.
Menurut Winardi dalam Ediwarsyah (1987) yang di maksud dengan pendapatan adalah hasil berupa uang atau hasil berupa materiil lainnya yang di capai dari pada penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia. Bila di ambil dari pengertian pendapatan perseorangan, lebih lanjut Winardi mengatakan pendapatan perseorangan bersih adalah pendapatan perseorangan yang tersedia untuk konsumsi atau investasi atau tabungan.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa pengertian pendapatan itu mempunyai aneka ragam, hal ini tergantung orientasi dari permasalahan yang di hadapi, antara lain seperti:
a. Bila di tinjau dari beban biaya yang dikeluarkan dari hasil pendapatan yang di terima, maka pengertian pendapatan itu dapat dibagi atas:
1. Pendapatan dalam arti revenue, yaitu pendapatan yang belum di kurangi biaya-biaya untuk memperoleh pendapatan tersebut.
2. Pendapatan dalam arti income adalah pendapatan yang sudah di kurangi dengan biaya-biaya untuk memperoleh pendapatan itu. Pengertian income itu sendiri di bagi atas dua bagian, yaitu income sebelum di potong pajak dan income sesudah di potong pajak.
b. Bila di tinjau dari cara memperolehnya, maka pengertian pendapatan itu dapat di bagi atas dua bagian, yaitu :
1. Pendapatan yang di peroleh dengan mempergunakan modal.
2. Pendapatan yang di peroleh dengan mempergunakan jasa-jasa.
b) Lapangan Pekerjaan
Pengertian pasar kerja adalah seluruh kebutuhan dan persediaan tenaga kerja dengan semua jalan yang memungkinkan penjual tenaga kerja (pekerja) dan pembeli tenaga (majikan) bertemu dan melakukan transaksi (penerimaan, penugasan, pemberhentian, promosi, pemindahan dan sebagainya) (Soeroto, 1983). Dengan demikian pasar kerja mencakup waktu sebelum orang memasuki pekerjaan dan sesudah ada orang ada dalam pekerjaan. Kesempatan kerja mengandung pengertian lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi (produksi). Dengan demikian pengertian kesempatan mencakup lapangan pekerjaan yang masih lowong.
Pengertian tentang pasar kerja tersebut perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi negara atau wialayah yang bersangkutan. Dalam negara maju, yang mempunyai sistem pasaran bebas, sebagian besar dari badan-badan perekonomian sudah terorganisasikan dan hasil sudah memiliki bentuk yang lebih bersifat tetap, sebaliknya sektor informal sedikit. Hal ini menyebabkan sebagian terbesar dari kenagakerjanya terikat dalam pekerja upahan. Keadaan dalam negara berkembang sebaliknya, di dalam negara berkembang lebih banyak usaha-usaha yang belum mempunyai bentuk tetap, keseluruhan usaha semacam ini biasa disebut sektor informal.
Berdasarkan Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara umum memberikan sumbangan yang sangat positif terhadap berjalannya pasar kerja di Indonesia. Undang-undang yang baru ini memperlihatkan konsensus dari berbagai pihak terkait mengenai isu-isu yang sebelumnya sangat menimbulkan pertentangan. Dalam Undang-undang tersebut adalah ditetapkannya aturan main mengenai representasi pekerja dalam rangka proses perundingan kolektif.
Namun demikian, ada beberapa bagian yang apabila dijalankan secara kaku justru akan mengurangi fleksibilitas pasar kerja. Dilaksanakan secara kaku maksudnya adalah dilaksanakan tanpa melihat kondisi perusahaan, seperti perusahaan kecil atau rumah tangga, atau jenis usahanya. Kuncinya, aturan main pasar kerja tidak seharusnya menimbulkan distorsi yang besar terhadap keputusan perusahaan mengenai investasi dan penggunaan tenaga kerja. Pengaturan yang berlebihan mengenai upah minimum, pekerja kontrak dan outsourcing, serta PHK berpotensi untuk mengurangi fleksibilitas pasar kerja.
Sektor pekerjaan atau lapangan kerja adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/tempat bekerja/perusahaan/kantor dimana seseorang bekerja. Dalam analisis ketenagakerjaan pengelompokan sektor pekerjaan biasanya dilakukan sesuai dengan yang terdapat dalam buku Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sebagai berikut :
1. Pertanian (termasuk perikanan, kehutanan, Perkebunan)
2. Pertambangan dan penggalian
3. Industri (termasuk jasa industri)
4. Listrik, gas dan air
5. Bangunan (termasuk instalatir dan tukang gali sumur)
6. Perdagangan (termasuk usaha jual beli, katering, rumah makan, hotel, motel, losmen dan penginapan lainnya)
7. Angkutan, pergudangan dan telekomunikasi (termasuk jasa angkutan, pengepakan, pengiriman dan biro perjalanan)
8. Keuangan (bank, asuransi, usaha persewaan bangunan/ tanah, jasa perusahaan dan lembaga keuangan lainnya seperti: Pasar modal, penggadaian, penukaran uang asing dan sebagainya.
9. Jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan, seperti lembaga legislatif, lembaga tinggi negara dan pemerintah, pertahanan keamanan, jasa pendidikan, kebersihan, hiburan, kebudayaan, pembantu rumah tangga dan sebagainya.
10. Lainnya: Kegiatan/ lapangan usaha atau perorangan, badan/ lembaga yang tidak tercakup dalam salah satu sektor di atas atau yang belum jelas batasannya seperti tukang beling, pemulung, renternir dan lain-lain.
Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam unit usaha/ kegiatan dalam melakukan kegiatan. Dengan demikian status pekerjaan seseorang dapat dibagi kedalam 7 (tujuh) Kelompok, yaitu :
1. Berusaha Sendiri, adalah mereka yang bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.
2. Berusaha dengan di bantu buruh tidak tetap/ buruh tak dibayar, adalah bekerja atau berusaha atas resiko sendiri, dan menggunakan buruh/pekerja tak dibayar dan atau buruh/ pekerja tidak tetap.
3. Berusaha di bantu buruh tetap/ buruh dibayar, adalah berusaha atas resiko sendiri dan memepekerjakan paling sedikit satu orang buruh/ pekerja tetap yang dibayar.
4. Buruh/ Karyawan/ Pegawai, adalah seorang yang bekerja pada orang lain atau instansi/ kantor/ perusahaan secara tetap dengan menerima upah/ gaji baik berupa uang maupun barang.
5. Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/ majikan/ institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun borongan. Usaha pertanian meliputi: pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian.
6. Pekerja bebas di non pertanian adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/ majikan/ Institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir), di usaha non pertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.
7. Pekerja keluarga, adalah anggota rumah tangga yang membantu usaha untuk memperoleh pengahasilan/keuntungan yang dilakukan oleh salah seorang anggota rumah tangga atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/gaji.
Tenaga kerja terbagai atas tenaga kerja wanita dan tenaga kerja pria. Pengelompokan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin ini pada dasarnya agar kualitas produksi bisa terjamin karena adanya kesesuaian antara tenaga dengan jenis pekerjaannya. Berdasarkan kualitasnya tenaga kerja terbagi atas:
a. Tenaga kerja terdidik/ ahli yaitu tenaga kerja yang memiliki keahlian yang di peroleh dari jenjang pendidikan formal seperti dokter, notaris, arsitektur dan sebagainya.
b. Tenaga kerja terampil/ terlatih yaitu tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang di peroleh dari pengalaman atau kursus-kursus seperti monitor, tukang las.
Berdasarkan lapangan pekerjaan tenaga kerja dapat di bagi menjadi beberapa bagian :
a. Tenaga kerja profesional adalah tenaga kerja yang umumnya mempunyai pendidikan tinggi yang menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan khusus, seperti arsitektur, dokter.
b. Tenaga kerja terampil (terlatih) tenaga yang memiliki keterampilan khusus dalam bidang tertentu yang diperoleh dari pendidikan seperti pendidika menengah plus sampai setara Diploma 3, seperti tenaga pembukuan.
c. Tenaga kerja biasa adalah tenaga kerja yang tidak memerlukan keterampilan khusus dalam melaksanakan pekerjaannya, seperti tukang gali sumur.
c) Perkembangan Aktivitas Ekonomi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktivitas adalah keaktifan; kegiatan; kesibukan; kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan. Aktivitas ekonomi adalah suatu kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan untuk hidupnya. Aktivitas ini dapat dapat terjadi dalam bentuk sektor formal maupun sektor informal. Di daerah wisata banyak terjadi berbagai macam aktivitas ekonomi, seperti berjualan, berdagang, sektor jasa dan lain-lain.
Dengan adanya perkembangan pariwisata tentu mempunyai kaitan dengan berbagai aspek aktivitas kehidupan masyarakat khususnya dari segi ekonomi. Apabila di lihat dari segi ekonomi bahwa pariwisata sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), antara lain berupa pajak, retribusi, dan sumber devisa bagi negara.
Industri pariwisata dapat meningkatkan perkembangan aktivitas perekonomian daerah tersebut berupa berdagang, berjualan, sektor jasa, industri padat karya yang dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk. Perkembangan pariwisata tidak hanya industri padat karya yang dapat di bangun, banyak aktivitas ekonomi yang dapat di buat di obyek pariwisata tersebut, terutama di sektor informal seperti warung makan, penjual souvenir dan aksessoris, makanan ringan khas daerah dan lain-lainnya.

PEMBHASAN

Oleh: Hapipi Jayadi

A. TEORI PENGEMBANGAN LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT (LED) PEMBERDAYAAN
Pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu konsep pembangunan ekonomi yang mendasarkan pada pendayagunaan sumber daya lokal yang ada pada suatu masyarakat, sumber daya manusia, sumber daya alam. Pendayagunaan sumber daya tersebut dilakukan oleh masyarakat itu sendiri bersama pemerintah lokal maupun kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Untuk mencapai tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam pengembangan ekonomi lokal.
Menurut World Bank (2001) pengembangan ekonomi local sebagai proses yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, usahawan, dan organisasi non pemerintah untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di tingkat lokal.
Menurut Blakely and Bradshaw dalam Suandy (1998) pengembangan ekonomi lokal adalah proses dimana pemerintah local dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan
Menurut International Labour Organization ILO (2001) Pengembangan ekonomi lokal adalah proses partisipatif yang mendorong kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah dan masyarakat pada wilayah tertentu, yang memungkinkan kerjasama dalam perancangan dan pelaksanaan strategi pembangunan secara umum, dengan menggunakan sumber daya lokal dan keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi.
Dari sisi masyarakat, pengembangan ekonomi lokal diartikan sebagai upaya untuk membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usahanya guna membangun kesejahteraannya. Kesejahteraan tersebut dapat diartikan secara khusus sebagai jaminan keselamatan bagi adat istiadat dan agamanya, bagi usahanya, dan bagi harga dirinya sebagai manusia. Semua jaminan tersebut tidak dapat diperoleh dari luar sistem masyarakat karena tidak berkelanjutan, dan oleh karena itu harus diupayakan dari sistem masyarakat itu sendiri yang kerap kali disebut kemandirian.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001).
Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Aspirasi dan tuntutan masyarakat itu di landasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Dalam ekonomi yang makin terbuka, ekonomi makin berorientasi pada pasar, peluang dari keterbukaan dan persaingan pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah. Dalam keadaan ini harus di cegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, dan golongan ekonomi yang lebih maju. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan pemihakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomi lokal.
Ada beberapa tujuan dan sasaran yang ingin di capai dalam pengembangan ekonomi local masyarakat ini, diantaranya adalah:
1. Terlaksananya upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal melalui pelibatan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani dalam suatu proses yang partisipatif.
2. Terbangun dan berkembangnya kemitraan dan aliansi strategis dalam upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal diantara stakeholder secara sinergis.
3. Terbangunnya sarana dan prasarana ekonomi yang mendukung upaya percepatan pengembangan ekonomi lokal.
4. Terwujudnya peningkatan PAD dan PDRB.
5. Terwujudnya peningkatan pendapatan masyarakat, berkurangnya pengangguran, menurunnya tingkat kemiskinan.
6. Terwujudnya peningkatan pemerataan antar kelompok masyarakat, antar sektor dan antar wilayah.
7. Terciptanya ketahanan dan kemandirian ekonomi masyarakat lokal. Dalam penelitian ini ada beberapa indikator yang digunakan Penulis untuk mengukur kondisi perekonomian masyarakat dalam berkembangnya ekonomi lokal masyarakat sekitar yaitu: pendapatan masyarakat, lapangan pekerjaan, dan perkembangan aktivitas ekonomi.
a) Pendapatan Masyarakat
Setiap manusia tidak luput dari tuntutannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat kebutuhan hidup manusia berbeda-beda tergantung pada tersedianya jumlah barang dan jasa yang di peroleh, sedangkan untuk memperoleh barang dan jasa itu ditentukan oleh pendapatan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh (Djoyodikusuma dalam Ediwarsyah 1987) yakni: tingkat hidup ditentukan oleh jumlah dan mutu barang dan jasa yang di pakai, jika seseorang atau sesuatu bangsa dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan memuaskan karena ada tersedia cukup banyak barang dan jasa maka tingkat hidupnya adalah tinggi, dan sebaliknya jika barang dan jasa sangat terbatas jumlahnya maka tingkat hidupnya rendah, jumlah barang dan jasa yang mempengaruhi hidup itu adalah pendapatan.
Menurut Winardi dalam Ediwarsyah (1987) yang di maksud dengan pendapatan adalah hasil berupa uang atau hasil berupa materiil lainnya yang di capai dari pada penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia. Bila di ambil dari pengertian pendapatan perseorangan, lebih lanjut Winardi mengatakan pendapatan perseorangan bersih adalah pendapatan perseorangan yang tersedia untuk konsumsi atau investasi atau tabungan.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa pengertian pendapatan itu mempunyai aneka ragam, hal ini tergantung orientasi dari permasalahan yang di hadapi, antara lain seperti:
a. Bila di tinjau dari beban biaya yang dikeluarkan dari hasil pendapatan yang di terima, maka pengertian pendapatan itu dapat dibagi atas:
1. Pendapatan dalam arti revenue, yaitu pendapatan yang belum di kurangi biaya-biaya untuk memperoleh pendapatan tersebut.
2. Pendapatan dalam arti income adalah pendapatan yang sudah di kurangi dengan biaya-biaya untuk memperoleh pendapatan itu. Pengertian income itu sendiri di bagi atas dua bagian, yaitu income sebelum di potong pajak dan income sesudah di potong pajak.
b. Bila di tinjau dari cara memperolehnya, maka pengertian pendapatan itu dapat di bagi atas dua bagian, yaitu :
1. Pendapatan yang di peroleh dengan mempergunakan modal.
2. Pendapatan yang di peroleh dengan mempergunakan jasa-jasa.
b) Lapangan Pekerjaan
Pengertian pasar kerja adalah seluruh kebutuhan dan persediaan tenaga kerja dengan semua jalan yang memungkinkan penjual tenaga kerja (pekerja) dan pembeli tenaga (majikan) bertemu dan melakukan transaksi (penerimaan, penugasan, pemberhentian, promosi, pemindahan dan sebagainya) (Soeroto, 1983). Dengan demikian pasar kerja mencakup waktu sebelum orang memasuki pekerjaan dan sesudah ada orang ada dalam pekerjaan. Kesempatan kerja mengandung pengertian lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi (produksi). Dengan demikian pengertian kesempatan mencakup lapangan pekerjaan yang masih lowong.
Pengertian tentang pasar kerja tersebut perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi negara atau wialayah yang bersangkutan. Dalam negara maju, yang mempunyai sistem pasaran bebas, sebagian besar dari badan-badan perekonomian sudah terorganisasikan dan hasil sudah memiliki bentuk yang lebih bersifat tetap, sebaliknya sektor informal sedikit. Hal ini menyebabkan sebagian terbesar dari kenagakerjanya terikat dalam pekerja upahan. Keadaan dalam negara berkembang sebaliknya, di dalam negara berkembang lebih banyak usaha-usaha yang belum mempunyai bentuk tetap, keseluruhan usaha semacam ini biasa disebut sektor informal.
Berdasarkan Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara umum memberikan sumbangan yang sangat positif terhadap berjalannya pasar kerja di Indonesia. Undang-undang yang baru ini memperlihatkan konsensus dari berbagai pihak terkait mengenai isu-isu yang sebelumnya sangat menimbulkan pertentangan. Dalam Undang-undang tersebut adalah ditetapkannya aturan main mengenai representasi pekerja dalam rangka proses perundingan kolektif.
Namun demikian, ada beberapa bagian yang apabila dijalankan secara kaku justru akan mengurangi fleksibilitas pasar kerja. Dilaksanakan secara kaku maksudnya adalah dilaksanakan tanpa melihat kondisi perusahaan, seperti perusahaan kecil atau rumah tangga, atau jenis usahanya. Kuncinya, aturan main pasar kerja tidak seharusnya menimbulkan distorsi yang besar terhadap keputusan perusahaan mengenai investasi dan penggunaan tenaga kerja. Pengaturan yang berlebihan mengenai upah minimum, pekerja kontrak dan outsourcing, serta PHK berpotensi untuk mengurangi fleksibilitas pasar kerja.
Sektor pekerjaan atau lapangan kerja adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/tempat bekerja/perusahaan/kantor dimana seseorang bekerja. Dalam analisis ketenagakerjaan pengelompokan sektor pekerjaan biasanya dilakukan sesuai dengan yang terdapat dalam buku Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sebagai berikut :
1. Pertanian (termasuk perikanan, kehutanan, Perkebunan)
2. Pertambangan dan penggalian
3. Industri (termasuk jasa industri)
4. Listrik, gas dan air
5. Bangunan (termasuk instalatir dan tukang gali sumur)
6. Perdagangan (termasuk usaha jual beli, katering, rumah makan, hotel, motel, losmen dan penginapan lainnya)
7. Angkutan, pergudangan dan telekomunikasi (termasuk jasa angkutan, pengepakan, pengiriman dan biro perjalanan)
8. Keuangan (bank, asuransi, usaha persewaan bangunan/ tanah, jasa perusahaan dan lembaga keuangan lainnya seperti: Pasar modal, penggadaian, penukaran uang asing dan sebagainya.
9. Jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan, seperti lembaga legislatif, lembaga tinggi negara dan pemerintah, pertahanan keamanan, jasa pendidikan, kebersihan, hiburan, kebudayaan, pembantu rumah tangga dan sebagainya.
10. Lainnya: Kegiatan/ lapangan usaha atau perorangan, badan/ lembaga yang tidak tercakup dalam salah satu sektor di atas atau yang belum jelas batasannya seperti tukang beling, pemulung, renternir dan lain-lain.
Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam unit usaha/ kegiatan dalam melakukan kegiatan. Dengan demikian status pekerjaan seseorang dapat dibagi kedalam 7 (tujuh) Kelompok, yaitu :
1. Berusaha Sendiri, adalah mereka yang bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus.
2. Berusaha dengan di bantu buruh tidak tetap/ buruh tak dibayar, adalah bekerja atau berusaha atas resiko sendiri, dan menggunakan buruh/pekerja tak dibayar dan atau buruh/ pekerja tidak tetap.
3. Berusaha di bantu buruh tetap/ buruh dibayar, adalah berusaha atas resiko sendiri dan memepekerjakan paling sedikit satu orang buruh/ pekerja tetap yang dibayar.
4. Buruh/ Karyawan/ Pegawai, adalah seorang yang bekerja pada orang lain atau instansi/ kantor/ perusahaan secara tetap dengan menerima upah/ gaji baik berupa uang maupun barang.
5. Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/ majikan/ institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun borongan. Usaha pertanian meliputi: pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian.
6. Pekerja bebas di non pertanian adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/ majikan/ Institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir), di usaha non pertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.
7. Pekerja keluarga, adalah anggota rumah tangga yang membantu usaha untuk memperoleh pengahasilan/keuntungan yang dilakukan oleh salah seorang anggota rumah tangga atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/gaji.
Tenaga kerja terbagai atas tenaga kerja wanita dan tenaga kerja pria. Pengelompokan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin ini pada dasarnya agar kualitas produksi bisa terjamin karena adanya kesesuaian antara tenaga dengan jenis pekerjaannya. Berdasarkan kualitasnya tenaga kerja terbagi atas:
a. Tenaga kerja terdidik/ ahli yaitu tenaga kerja yang memiliki keahlian yang di peroleh dari jenjang pendidikan formal seperti dokter, notaris, arsitektur dan sebagainya.
b. Tenaga kerja terampil/ terlatih yaitu tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang di peroleh dari pengalaman atau kursus-kursus seperti monitor, tukang las.
Berdasarkan lapangan pekerjaan tenaga kerja dapat di bagi menjadi beberapa bagian :
a. Tenaga kerja profesional adalah tenaga kerja yang umumnya mempunyai pendidikan tinggi yang menguasai suatu bidang ilmu pengetahuan khusus, seperti arsitektur, dokter.
b. Tenaga kerja terampil (terlatih) tenaga yang memiliki keterampilan khusus dalam bidang tertentu yang diperoleh dari pendidikan seperti pendidika menengah plus sampai setara Diploma 3, seperti tenaga pembukuan.
c. Tenaga kerja biasa adalah tenaga kerja yang tidak memerlukan keterampilan khusus dalam melaksanakan pekerjaannya, seperti tukang gali sumur.
c) Perkembangan Aktivitas Ekonomi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktivitas adalah keaktifan; kegiatan; kesibukan; kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan. Aktivitas ekonomi adalah suatu kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan untuk hidupnya. Aktivitas ini dapat dapat terjadi dalam bentuk sektor formal maupun sektor informal. Di daerah wisata banyak terjadi berbagai macam aktivitas ekonomi, seperti berjualan, berdagang, sektor jasa dan lain-lain.
Dengan adanya perkembangan pariwisata tentu mempunyai kaitan dengan berbagai aspek aktivitas kehidupan masyarakat khususnya dari segi ekonomi. Apabila di lihat dari segi ekonomi bahwa pariwisata sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), antara lain berupa pajak, retribusi, dan sumber devisa bagi negara.
Industri pariwisata dapat meningkatkan perkembangan aktivitas perekonomian daerah tersebut berupa berdagang, berjualan, sektor jasa, industri padat karya yang dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk. Perkembangan pariwisata tidak hanya industri padat karya yang dapat di bangun, banyak aktivitas ekonomi yang dapat di buat di obyek pariwisata tersebut, terutama di sektor informal seperti warung makan, penjual souvenir dan aksessoris, makanan ringan khas daerah dan lain-lainnya.

PENGEMBANGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KECAMATAN WAJAK TERHADAP PENGERAJIN MENDONG

oleh: Hapipi Jayadi

a) Peningkatan Keterampilan Masyarakat Di Bidang Industri
(Tikar Dan Kerajinan Mendong)
Hasil kreasi mendong dari Kecamatan Wajak masih berkutat pada pembuatan tikar. Karena itu Disperindag dan Pasar mengadakan pelatihan untuk perajin mendong yang berada di delapan desa yaitu di Patok Picis, Codo, Kidangbang, Blayu, Wajak, Sukoanyar, Dadapan dan Ngembal. Mereka disiapkan pelatih dari Tasikmalaya yang karena produk mendong dari Tasikmalaya lebih kreatif. ”Hasil mendong dari Kabupaten Malang masih belum maksimal. Kreasinya kurang sehingga harus ada langkah ke depan agar hasilnya lebih bagus. Untuk itu akan dilatih proses penenunan, pencelupan warna dan pemintalan benangnya. Sehingga hasilnya lebih beragam. Bisa jadi kotak, entah jadi tisu, kotak seserahan, tas dll.
Ketua Dekranasda Kabupaten Malang menyatakan pelatihan dan bantuan dari pemerintah hanya bersifat stimulus. Sehingga diperlukan kreatifitas dari perajin sendiri agar produknya memiliki nilai jual lebih tinggi. Ia kemudian mencontohkan beberapa produk dari mendong yang dijual saat pameran di Jakarta. Kerajinan mendong lebih banyak melibatkan tenaga perajin dibandingkan kerajinan kain bordir. Selain itu, berbeda dengan kerajinan kain bordir yang sudah menggunakan mesin-mesin bordir modern, kerajinan mendong, terutama proses penenunan, masih menggunakan alat tenun tradisional. Bahan baku kerajinan mendong adalah tanaman mendong yang harus ditanam di lahan yang senantiasa basah.
Tanaman mendong dapat dipanen sampai 6-7 kali. Untuk pemanenan pertama, mending harus dibiarkan tumbuh selama 6 bulan terlebih dahulu, baru dapat dipanen. Untuk pemanenan kedua dan seterusnya hanya memerlukan waktu 4 bulan. Tanaman mendong yang subur dapat mencapai ketinggian 90 s.d. 125 cm. Selain mendong, bahan baku lain yang dibutuhkan adalah benang tenun atau benang polyster. Adapun tahap-tahap dalam pembuatan anyaman mendong adalah sebagai berikut (A. Suhandi Shm., dkk., 1985: 47-48).
b. Pewarnaan
Sesuwai dengan kelompok yang telah di bagikan disini kami dapat bagian Pewarnaan Sehingga yang akan saya uraikan lebih luas adalah system pewarnaan pada mending.
Pekerjaan member warna batang mending disebut nyelep (mencelup). Warna-warna yang sering dipakai adalah hijau, biru, kuning, merah, dan ungu. Sedangkan bahan zat pewarna dapat diperoleh di toko-toko di Kota Tasikmalaya. Adapun proses pewarnaan adalah sebagai berikut.
1. Batang mending yang telah selesai dijemur diberi warna dengan cara di celep (dicelup) ke dalam  godogan atau larutan zat pewarna yang dipanaskan sampai mendidih, sesuai dengan warna yang diinginkan.
2. Setelah pemberian warna selesai, batang-batang mendong tersebut dijemur kembali selama 4 jam dengan tujuan agar warnanya tidak luntur.
3. Apabila menghendaki lebih dari satu warna, batang mendong kering itu diikat sampai pada batas warna yang diinginkan, kemudian dicelup ke dalam zat pewarna. Setelah itu ikatan batang mendong itu dijemur sampai kering. Selanjutnya, bagian yang belum diberi warna dicelupkan lagi ke dalam zat pewarna lainnya, kemudian dijemur kembali sehingga menghasilkan batang mendong dengan warna yang berlainan.
4. Setelah itu batang-batang mendong tersebut di-celub, yaitu dimasukkan ke dalam air sebentar agar batang yang akan ditenun tidak mudah putus. Setelah kering, batang mending yang telah diberi warna diikat kembali dan siap untuk ditenun. Penenunan Proses pembuatan tikar mending dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Mula-mula memasang benang pada alat tenun tersebut. Pekerjaan ini disebut  pihane. Setiap benang dimasukkan pada celah-celah  suri dan selang satu benang masuk ke  gun  yang satu benang yang lain masuk ke gun lainnya. Kemudian masingmasing ujung benang diikatkan pada batang penggulung benang atau boom.
b) Setelah benang itu tergulung, maka ujungnya yang lain diikatkan pada panggulung amparan.
c) Penenun menginjak salah satu alat  panginjek, sehingga salah satu  gun  terangkat dan gun yang lain turun. Gerakan ini  menyebabkan benang-benang yang dipasang sebagian turun dan sebagian lagi naik.  Toropong  yang sudah diisi batang mendong dimasukkan ke lubang yang menganga tadi, yaitu di antara benang-benang yang turun dan terangkat oleh gun. Satu batang mending pada toropong dipegang oleh tangan penenun, kemudian  toropong dikeluarkan, sehingga batang mending tersebut ada dalam benang yang terpasang. Batang mending tersebut ditarik oleh  suri, sehingga mendekati dan merapat ke alat penggulung tikar. Pekerjaan demikian  disebut  ngagedig. Demikian seterusnya hingga batang mendong yang ditenun semakin banyak.
e) Setelah batang mendong yang ditenun sudah cukup banyak, kemudian penggulung tikar diputar, sehingga hasil tenunan tikar dapat digulung sedikit demi sedikit pada alat penggulung tersebut. Apabila panjang tikar sudah memenuhi ukurannya, sedangkan benang masih panjang, maka sebagai batas tenunan itu diberi jarak. Untuk membuat tikar madani, tenunannya tidak terlalu padat dan motifnya biasanya belang-belang lurus.
Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Oleh: Hapipi Jayadi A. Pengertian Pembangunan Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.  Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat. Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”. Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional. Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya. Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal. Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Pengertian Pemberdayaan Masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “Empowerment” , yaitu sebagai upaya mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat nelayan adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang amndiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian tentunya diharapkan memberikanperanan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku atau aktor yang menentukan hidup mereka sendiri. Lebih lanjut payne (1997 : 266), mengatakan bahwa: “Empowerment seeks to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. (Pemberdayaan dipandang untuk menolong klien dengan membangkitkan tenaga dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan sepanjang hidup, termasuk mengurangi efek atau akibat dari gejala- gejala pada masyarakat atau individu untuk melatih agar kekuatan itu tumbuh dengan meningkatkan kapasitas percaya diri, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya). Pendekataan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people centered development) melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal, yang merupakan mekanisme perencanaan yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial dan strategi perumusan program. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya. Dalam hal ini, Moelyarto (1999: 37-38) mengemukakan ciri-ciri pendekatan pengelolaan sumber daya lokal yang berbasis masyarakat, meliputi : 1. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi masyarakat setempat dibuat ditingkat local, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan. 2. Fokus utama pengelolaan sumber daya local adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskia dalam mengarahkan aset- asset yang ada dalam masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhannya. 3. Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui makna pilihan individual, dan mengakui proses pengambilan keputusan yang dengan sentralistik. 4. Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi- organisasi yang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi. 5. Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara para pelaku dan organisasi local yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima manfaat, pemerintah lokal, lokal dan sebagainya, yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas berbagai sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya setempat. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberdayaan masyarakat terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, pemahaman mengenai proses adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungannya merupakan informasi penting dalam pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development), yang melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal (community based resource management). Konsep dan Metode Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya. Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI. Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses. Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya, berpartisipasi aktif, serta penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan komitmen yang berlevel internasional. Komitmen ini telah ditandatangani dalam KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189 negara lainnya. Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015. Dalam deklarasinya negara peserta menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000). Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015. Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007). Sebagaimana kita alami, era ini merupakan kehidupan yang bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, penuh resiko, dan penuh dengan kejutan. Dengan demikian individu, kelompok atau komunitas harus melakukan berbagai upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan. Di sisi lain interdependensi antara komunitas, terkecil sekalipun, dan dunia sebagai totalitas, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk menghadapi perubahan sendirian. Apalagi melihat kenyataan, kenaikan harga BBM misalnya, yang merupakan perubahan disektor ekonomi dan energi akan mempengaruhi sector kehidupan yang lain. Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalahatau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community Development, 2001). Pengembangan otonomi daerah yang diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat sangat sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan konsep pemberdayaan masyarakat seperti CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengimplementasikannya. Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi. Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004). Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian. Pemberdayaan Masyarakat Desa Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa Oleh : MG Ana Budi Rahayu Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, gonjang-ganjing mengenai peningkatan taraf hidup petani di pedesaan selalu mengalami dinamika. Apapun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup petani, seringkali menuai kritikan dan kontroversi dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang mengatakan petani sebagai "wong cilik" yang kehidupannya semakin tertindas dan harus menjadi tumbal atas kebijakan  perekonomian pemerintah. Kita lihat kembali bagaimana kebijakan penentuan harga dasar gabah, pengurangan subsidi pupuk, mahalnya harga bahan bakar dan baru-baru ini kebijakan import yang dirasa tidak berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan petani.   Disisi lain, pembangunan nasional juga menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Banyak peneliti yang sudah membuktikan bahwa pembangunan semakin memperbesar jurang antara kota dan desa. Sangat disadari, negara berkembang seperti Indonesia mengkonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri yang membutuhkan investasi yang mahal untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya sektor lain seperti  sektor pertanian dikorbankan yang akhirnya pembangunan hanya terpusat di kota-kota.   Hal ini juga sesuai dengan hipotesa Kuznets, bahwa pada tahap pertumbuhan awal pertumbuhan diikuti dengan pemerataan yang buruk dan setelah masuk pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik. (Todaro, 2000) Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan tersebut antara lain karena perbedaan pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, infrastruktur investasi, dan kebijakan (Arndt, 1988). Dewasa ini, telah banyak para ahli pembangunan masyarakat pedesaan yang mengangkat permasalahan ini ke permukaan. Karena sesungguhnya yang terjadi petani tetap miskin, sebab persoalan yang berkaitan dengan produksi seperti kapasitas sumber daya manusia, modal, dan kebijakan tetap sama dari tahun ke tahun walaupun bentuknya berbeda. Studi mengenai kemiskinan pedesaan oleh Sarman dan Sajogyo (2000) menunjukkan bahwa untuk daerah pedesaan di Sulteng mencapai 48,08% sementara untuk perkotaan sekitar 12,24%. Studi ini menggunakan pendekatan jisam (kajian bersama) sehingga kriteria kemiskinan sangat lokalistik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan kepemilikan masyarakat. Banyak proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan. Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing departemen maupun antar departemen. Pada umumnya proyek-proyek yang digulirkan masih pada generasi pemberian bantuan fisik kepada masyarakat. Baik berupa sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, pembangunan sarana air bersih dan sebagainya. Kenyataannya, ketika proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah tidak berfungsi atau bahkan hilang. beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain, yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek. Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, generasi selanjutnya proyek-proyek mulai dilengkapi dengan aspek lain seperti pelatihan untuk ketrampilan, pembentukan kelembagaan di tingkat masyarakat, keberadaan petugas lapang, melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Atau dengan kata lain beberapa proyek dikelola dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, hasil proyek lebih lama dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan berkembang memberikan dampak positif.      Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (Sumber Daya Manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan. Telaah lebih lanjut paper ini adalah bagaimanakah peran pemberdayaan masyarakat desa dalam program-program pemerintah untuk peningkatan pendapatan. Kemudian seberapa besarkah kegiatan ekonomi masyarakat desa mendukung perekonomian nasional. Topik tersebut masih relevan untuk dibahas bagi agenda pembangunan ekonomi Indonesia ke depan,  mengingat keberadaan masyarakat desa dari sisi kualitas dan kuantitas menjadi peluang dan tantangan. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DESA Untuk memulihkan kondisi ekonomi yang memburuk akibat munculnya krisis ekonomi, diperlukan upaya yang kom-prehensif dan efektif sebagaimana yang tercantum dalam program pembangunan nasional (Propenas) 2001-2005 yang menghendaki agar dilaksanakannya pro-gram pemberdayaan masyarakat untuk memulihkan kondisi ekonomi. Kesenjangan merupakan kenyataan yang ada dalam pembangunan yang memerlukan pemecahan dengan pemi-hakan dan pemberdayaan bagi pelaku ekonomi lemah secara nyata (Somoedi-ningrat, 1997). Oleh karena itu, akan diusahakan pergeseran dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemerataan dengan ke-kuatan ekonomi rakyat, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi dengan mem-berikan kepada mereka kesempatan yang sama seperti kesempatan yang diberikan kepada usaha besar. Konsep pemberdayaan merupakan paradigma baru dalam pembangunan ma-syarakat yang melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun eva-luasi. Priyono (1996) memberikan makna pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baikdalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Mem-berdayakan masyarakat mengandung mak-na mengembangkan, memandirikan, men-swadayakan dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah ter-hadap kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Pemberdayaan masyarakat harus dipandang sebagai upaya untuk mem-percepat dan memperluas upaya penang-gulangan kemiskinan melalui koordinasi berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, baik di tingkat pusat ma-upun daerah sehingga efektivitasnya me-miliki signifikansi yang besar terhadap penanggulangan kemiskinan. Pembangunan Daerah Kabupaten Si-doarjo melalui program-programnya se-perti Gardu Taskin (Gerakan Mendukung Pengentasan Kemiskinan, bantuan lang-sung desa tertinggal non IDT, JPS, dan GKD telah banyak melakukan usaha pengentasan kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pedesaan, khu-susnya di Desa Kedungrejo, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo dengan ke-bijakan utama pengembangan industri kecil atau industri rumah tangga. Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk/macam pemberda-yaan ekonomi masyarakat di pedesaan? 2. Bagaimana proses pelaksanaan pem-berdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan? 3. Bagamana peran stakeholders (pe-merintah dan kelompok) dalam pem-berdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan? 4. Kendala-kendala apa yang meng-hambat program pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan? Tujuan dari penelitian ini adalah se-bagai berikut: 1. Mendeskripsikan bentuk/macam pem-berdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan. 2. Mendeskripsikan dan menganalisa pro-ses pelaksanaan pemberdayaan eko-nomi masyarakat di pedesaan. 3. Mendeskripsikan peran stakeholders dalam pemberdayaan ekonomi masya-rakat di pedesaan. 4. Mengetahui kendala-kendala yang di-hadapi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN Posted by WAHYU KRISNANTO 18:57, under | No comments Konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah mulai dikenalkan oleh pemerintah sejak awal tahun 1980-an melalui istilah pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun serta menjaga lingkungan dimana mereka berada. Untuk mensukseskan gerakan pemberdayaan masyarakat tersebut kemudian pemerintah membentuk beberapa lembaga akar rumput, LKMD/k, PKK, dan Karang Taruna sebagai wadah dalam mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dan menjunjung solidaritas bersama. Penggiat pemberdaya masyarakat kebanyakan adalah staf pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah yang bekerja sebagai penghubung antara kebijakan serta agenda pembangunan dengan apa yang harus dilakukan oleh komunitas. MEMAHAMI PARTISIPASI Dalam berbagai literatur, partisipasi masyarakat dalam pembangunan diinterpretasikan bermacam-macam, diantaranya: ”Partisipasi adalah gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta dalm mengevaluasinya.”(Upholf,1992). ”Partisipasi adalah suatu proses dimana sebagai pelaku (stakeholders) dapat mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pebangunan, keputusan serta pengalokasian berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka.” (Bank Dunia, 1994). Dari intepretasi diatas dapat ditarik garis besarnya yang kesemuanya menekankan tentang hak yang dimilki masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam ikut menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupannya. Artinya bahwa masyarakat emilikli hak hak untuk berperan dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dari pembangunan itu sendiri. Secara sederhana partisipasi adalah alat untuk mewujudkan pengaruh dari individu/kelompok yang selama tidak dianggap/diperhitungkan dalam perumusan sera penetapan kebijakan publik. TINGKAT PARTISIPASI Untuk membedakan antara satu bentuk dengan lainnya, partisipasi dapat dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu:  Pertama, Manipulasi yaitu tingkat partisipasi yang terendah dan dapat dikategorikan sebagai tidak adanya partisipasi. Dalam tingkat ini, partisipasi difungsikan sebagai kesempatan untuk memaksakan kehendak pihak yang lebih berkuasa.  Kedua, penyebarluasan informasi dimana berbagai pelaku telah diinformasikan mengenai hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka, namun partisipasi dalam tingkat ini difungsikan sebagai komunikasi satu arah dan tidak terbuka kesempatan untuk bernegosiasi dan menyatakan pendapat.  Ketiga, konsultasi yaitu tingkat partisipasi yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah dan pelaku dapat mengekspresikan pendapat dan pandangannya, tetapi tidak ada jaminan bahwa masukan-masukan mereka akan digunakan.  Ke-empat, membangun kesepakatan, yaitu dimana berbagai pelaku berhubungan untuk dapat saling memahami antara satu dengan yang lainnya, bernegosiasi dan berkompromi terhadap bermacam hal yang paling diterima oleh semua.  Kelima, pengambilan keputusan, yaitu dimana konsensus dihasilkan berdasarkan kesepakatan bersama dan terjadi pembagian tanggung jawab antara berbagai pelaku yang terlibat.Dalam tingkat ini, negosiasi dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan kepada seluruh pelaku dalam menyuarakan aspirasinya.  Ke-enam, kemitraan, yaitu suatu hubungan kerja yang sinergis diantara berbagai pelaku untuk mewujudkan tujuan yang disepakati bersama. Di tingkat ini, para pelaku melakukan pembagian tanggung jawab serta resiko dari konsensus yang mereka hasilkan. KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT. 1. Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam GBHN Tahun 1999, khususnya didalam “Arah Kebijakan Pembangunan Daerah”, antara lain dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI “. 2. Sedangkan didalam UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditegas-kan bahwa “Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta masyarakat “. 3. Mencermati rumusan kebijakan pemerintah didalam dua dokumen kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan otonomi daerah“. Setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan secara langsung mendukung upaya pemantapan dan penguatan otonomi daerah, dan setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan dan penguatan otonomi daerah akan memberikan dampak terhadap upaya pemberdayaan masyarakat. 4. Didalam UU. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik “. 5. Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan masyarakat, Badan Pemberda-yaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat sbb : a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat. (Penjelasannya adalah bahwa kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan kewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakholders pemberdayaan masyarakat). b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah : “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri “, melalui : - Peningkatan keswadayaan masyarakat. - Pemantapan nilai-nilai sosial budaya masyarakat. - Pengembangan usaha ekonomi masyarakat. - Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan. - Peningkatan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. c. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah : “Mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup“ Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah : - Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. - Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat. - Pengorganisasian dan pelembagaan masyarakat. - Pemberdayaan Masyarakat perkotaan dan pedesaan. - Berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat. - Pendekatan lintas sektor dan program. - Mendayagunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Strategi Pemberdayaan Masyarakat 1. Proses Pemberdayaan. Paradigma pemberdayaan (empowerment) adalah pemberian kesempatan kerja kelompok untuk merencanakan kemudian melaksanakan program pembangunan tersebut yang mereka pilih sendiri. Maksud dari pemberdayaan itu adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelompok. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur utama/dasar yang memungkinkan suatu masyarakat itu dapat bertahan dan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan. Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dengan orientasi pembangunan yang berpusat pada masyarakat antara lain dapat dilkukan melalui pendekatan kelembagaan. Dengan pendekatan pembangunan seperti ini maka pembangunan diartikan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya dengan implikasi capacity, empowerment, dan sustanable (Brynt & White, 1987). Pembangunan haruslah memiliki visi pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, sebab sepanjang jaman keswadayaan merupakan sumber daya kehidupan yang abadi dan manusia menjadi intinya atau fokusnya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya ditengah masyarakat lainnya. Proses Pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Secara individual 2. Secara kolektif/kelompok Proses pemberdayan dengan pendekatan individual akan lebih lambat berkembang dan cakupannya lebih sempit dibanding dengan pendekatan secara kolektif dan kelompok. Hal ini disebabkan karena didalam kelompok terjadi proses interaksi yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas. Disamping itu pula perubahan pola pikir petani melalui aktifitas individu biasanya lebih lambat dibanding dengan petani yang aktif dalam kegiatan kelompok. Demikian pula penerapan inovasi baru melalui aktifitas kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibanding jika disampaikan melalui pendekatan individu. Ikatan dalam kelompok terbentuk karena adanya pandangan dan kebutuhan yang sama yang hendak dicapai. Untuk memperkuat kesadaran dan solidaritas maka kelompok harus menumbuhkan identitas seragam dalam mengenali kepentingan dan tujuan mereka bersama. Bila anggota kelompok belum seragam mengenali kepentingan dan tujuan bersama yang hendak dicapai bahkan sering samar, tidak jelas atau tidak diketahui maka kelompok itu tidak dinamis bahkan lambat laun akan bubar dengan sendirinya. Ada lima misi utama program pemberdayaan masyarakat yang menjamin tercapainya hasil yang baik adalah sebagai berikut: Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 209 1. Penyadaran Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan tidak mampu mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak mereka miliki. Akibatnya banyak potensi yang tak termanfaatkan atau mubasir, sementara kehidupan masyarakatnya memprihatinkan. Oleh karena itu sering kita jumpai ironi dalam masyarakat ibarat ”ayam lapar di lumbung padi” atau ” itik kehausan ditengah sungai”. Oleh karena itu penyadaaran ini penting agar masyarakat desa tahu potensi, peluang, ancaman dan tantangan di masa depan. 2. Pengorganisasian Satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan organisasi komunitas lokal adalah paternalisme.dari para perencana. Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional yang lemah maka mereka secara refleksi memperkenalkan organisasi modern dengan bentuk dan pola yang serba seragam dengan daerah lain. Padahal organisasi modern tersebut belum tentu sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Alhasil banyak organisasi introduksi tersebut tidak melembaga dalam masyarakat. Mungkin organisasi tersebut berhasil di suatu tempat tetapi belum tentu berhasil di tempat lain. Kelembagaan yang hakiki haruslah berawal dari prakarsa masyarkat secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Kinerja kelembagaan lokal itu perlu dinilai kembali, disempurnakan dan terus dimotivasi agar nilai-nilai dan norma yang terkandung didalamnya dapat lebih hidup dan menjiwai kelembagan itu. Seperti semangat ”Mapalus” dimasyarakat Minahasa, ”Sisaro” di Tana Toraja, dll. Dengan demikian kelembagaan itu dapat berkembang menjadi ”biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kina terbuka dan kompetitif. 3. Kaderisasi pendampingan Setiap program pembangunan ada jangka waktu pelaksanaannya. Selama progrma tersebut berjalam masyarakat berpartisipasi aktif karena ada tujuan yang didapat didalamnya, misalnya gaji/upah, kesempatan kerja yang bersifat jangka pendek. Namun setelah pembanguna itu berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan berangsur-angsur hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi. Oleh sebab itu sebelum pembangunan tersebut berkahir seharusnya masyarakat dipersiapkan untuk melanjutkan memelihara dan mengembangkan sendiri secara swadaya karena selama pelaksanan pembangunan tersebut itu merupakan kegaitan investasi awal dari pemerintah atau swasta. Jadi setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk memerankan diri sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 210 pendamping bagi masyarakat. Disinilah peran strategis LSM lokal untuk melakukan pendampingan agar partisipasi masyarakat terus tumbuh berkembang dalam mendukung setiap pembangunan. 4. Dukungan teknis Pembaharuan dalam suatu masyarakat umumnya memerlukan bantuan teknis dari suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat perubahan itu menjadi kenyataan. Organisasi pendukung teknis sebaiknya dari insitusi yang berkompten untuk itu seperti peneliti atau penyuluh atau aparat dinas terkait atau juga tenaga profesional lainnya dari perusahaan swasta. 5. Pengelolaan Sistem Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam hal pendanaannya. Disamping itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk mensinergikan kepentingan antar lembaga yang terkait untuk itu diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang baik. 2. Teknik Pemberdayaan Masyarakat Menurut pengalaman pendampingan masyarakat seperti yang dilakukan oleh P3AE-UI dkk. di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Gunung Betung Propinsi Lampung, pada tahap awal yang terpenting dilakukan adalah membangun fondasi sosial karena fondasi sosial merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan masyarakat terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial sebaiknya lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain dalam rangka pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelolah sumberdaya hutan. Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri: a. Membangun kedekatan Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat. b. Membangun pertemanan Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 211 itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsip-prinsip pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan keadilan. Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat, mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama. Suatu hal yang sangat perlu ditumbuh kembangkan dalam pertemanan adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individu-individu yang berbeda. c. Membangun kepercayaan Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat. Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan. d. Membangun keterbukaan Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya. Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 212 e. Membangun kerjasama Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing individu. Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping memikirkan perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Setelah masyarakat memahami, mau dan mampu bekerjasama, maka kegiatan-kegiatan bermusyawarah mulai dapat dilakukan. Pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah dan keinginan dalam pengelolaan kebun garapan di kawasan hutan dapat dijadwalkan secara berkala. Kemudian bagaimana melakukan kerjasama menggarap kebun dan bagaimana melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan kepastian jaminan atas status pengelolaan lahan garapannya tersebut. f. Membangun kelompok Kerjasama dengan berbagai aktivitasnya merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu diperlukan wadah yang dapat menampung dinamika kerjasama tersebut. Pada status yang demikian perlu dibentuk kelompok sebagai wujud atau wadah dari interaksi atau kerjasama yang sudah dan sedang dibangun. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut dimaksudkan agar kerjasama diantara anggota kelompok akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pembentukan kelompok di samping mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, juga mempertimbangkan kesatuan lokasi garapan dan kesatuan lokasi tempat tinggal. g. Membangun kelembagaan Kelembagaan merupakan kelanjutan dari kelompok yang telah dilengkapi dengan pranata-pranata atau aturan-aturan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok. Di samping itu kelompok yang sudah melembaga juga memiliki struktur kepengurusan sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati para anggotanya. Dengan demikian mekanisme kerja kelompok menjadi lebih sistematis dan terpimpin. Suatu hal yang perlu dipahami dan ditekankan bahwa peran kepengurusan di dalam membangun kelembagaan adalah mewakili, memfasilitasi dan melaksanakan kesepakatan atau kerjasama yang diputuskan oleh seluruh anggota kelompok. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 213 Kelembagaan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan lahan garapan di dalam kawasan hutan di Sumber Agung, Gunung Betung, bukan hanya sekedar bertujuan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kepastian jaminan dari pemerintah. Akan tetapi dalam membangun kelembagaan yang lebih penting adalah bagaimana mencapai kemandirian masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera. Seluruh proses pemdampingan masyarakat seperti telah diuraikan di atas sebaiknya dilakukan dengan konsep belajar bersama dan mengikuti arus perkembangan yang diinginkan masyarakat. Belajar bersama artinya baik pendamping maupun masyarakat dalam kegiatan ini tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih tahu atau lebih mampu dari pada yang lain. Akan tetapi mereka sama-sama menyadari bahwa pendamping harus belajar dari masyarakat karena kenyataannya masyarakatlah yang lebih tahu tentang diri mereka sendiri, demikian juga masyarakat belajar dari pendamping karena kenyataannya pendamping lebih banyak mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketentuan-ketentuan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Demikian juga tentang hal-hal yang lain menyangkut pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, mereka saling belajar. Sedangkan mengikuti arus keinginan masyarakat pengertiannya adalah bahwa proses pendampingan yang dilakukan tidak membuat target-target tertentu yang dibatasi oleh waktu ataupun hasil yang harus dicapai dengan cara setengah dipaksakan. Karena praktek pendampingan yang dibatasi oleh waktu dan setengah dipaksakan banyak mengalami kegagalan, sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada berbagai proyek pada masa lalu. 3. Strategi Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Dalam pengembangan kelembagaan, Jefta Leibo dalam Sudibyo dan Sudayatna (2004) mengemukakan beberapa strategi sebagai berikut: a. Strategi gotong royong Mendasarkan pada asumsi-asumsi paradigma struktural-fungsional kelembagaan, strategi gotong royong melihat masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian yang terintegrasi secara normatif, yang mana tiap-tiap bagian memberikan sumbangan fungsional masing-masing bagi pencapaian tujuan masyarakat sebagai keseluruhan. Strategi ini menganjurkan perubahan/pengembangan dilakukan atas dasar partisipasi luas seluruh lapisan masyarakat didalam proses pengambilan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan masyarakat. b. Strategi teknikal-profesional Pada dasarnya strategi ini tidak banyak berbeda dengan strategi gotong royong. Yang membedakan pada pokoknya adalah strategi ini memberikan peranan yang lebih kritikal pada agen-agen pembaharuan didalam menetukan program-program pembengunan, menyediakan pelayanan-pelayanan yang diperlukan, dan menentukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk merealisasikan program-program yang ditentukan. Strategi teknikal-profesional hanya memberikan kepada kelompok-keompok kerja dan organisasi yang terdiri dari Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 214 atas sejumlah kecil warga masyarakat “terpilih” yang dimobilisasi untuk mengorganisasikan informasi-informasi mengurangi rasa takut masyarakat terhadap resiko yang berhubungan dengan adopsi inovasi baru, menemukan cara-cara yang lebih kreatif untuk menyesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. c. Strategi konflik Strategi konflik melihat masyarakat melalui suatu diskriminasi yang sangat tajam tentang perbedaan antara dua macam citra tentang struktur sosial dan perubahan kemasyarakat. Strategi konflik mengnggap bahwa “paksaan” atau “kekuasaan” adalah merupakan landasan yang lebih realistik bagi tertib sosial setiap masyarakat. Strategi konflik menyatakan bahwa sebagai suatu sistem kemasyarakat, masyarakat memelihara dan menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang terus-menerus berubah melalaui alokasi dan penggunaan kekuasaan. Dari beberapa strategi di atas, mana yang sesuai untuk diterapkan dalam pengembangan kelembagaan masyarakat pedesaan yang kita hadapi, tentunya perlu dikaji lebih lanjut sesuai dengan karakteristik masyarakat yang bersangkutan dan perkembangan sosial masyarakat yang ada. Kombinasi dari beberapa strategi juga memungkinkan untuk diadopsi aspek-aspek positipnya. B. Teknik-Teknik Kajian Partisipatif (PRA) Sebenarnya banyak teknik kajian partisipatif dalam PRA, namun pada bahan ini hanya akan disampaikan beberapa teknik saja yang sangat relevan untuk penerapan pemberdayaan masyarakat dalam basis pengelolaan hutan rakyat. Sehingga yang menjadi unit pengkajian dalam kegiatan ini adalah hutan hutan rakyat dan masyarakat yang memanfaatkannya. Berikut kita bahas secara singkat beberapa teknik kajian dimaksud. 1. Identifikasi masyarakat desa dan stratifikasi pemanfaatan hutan rakyat a. Tujuan Secara umum masayarakat desa tidak mempunyai peran dan ketergantungan yang sama terhadap hutan rakyat di sekitar desa tempat tinggalnya. Tujuan kegiatan ini adalah mengetahui nama dan asal kampung orang-orang yang aktivitas kehidupannya terjadi interaksi dengan hutan rakyat, kemudian menyusun stratifikasi berdasarkan jenis kegiatan dan tingkat intensitasnya dalam memanfaatkan hutan rakyat tersebut. b. Langkah-langkah - gunakan metode diskusi kelompok dengan masyarakat untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan; - rumuskan bersama kriteria aktivitas kehidupan masyarakat yang berinteraksi dengan hutan rakyat; - kelompok masyarakat diminta untuk menyebutkan nama asal anggota masyarakat yang aktivitas kehidupannya berinteraksi dengan hutan rakyat. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 215 c. Hasil kegiatan yang diharapkan - daftar nama serta asal orang-orang yang memanfaatkan hutan rakyat; - jenis-jenis kegiatan da

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PENGERTIAN, PROSES, TUJUAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh: Hapipi Jayadi

a.    Pengertian pemberdayaan masyarakat

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. 
Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. 
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. 
Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. 

b.    Proses Pemberdayaan
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.
Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.
Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:  
1. Mampu memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan)
2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri
3. Memiliki kekuatan untuk berunding
4. Emiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan 
5. Bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud denganmasyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

c.    Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pe mberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan. Pemberdayaan Masyarakat.
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam GBHN Tahun 1999, khususnya didalam “Arah Kebijakan Pembangunan Daerah”, antara lain dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI “.
2. Sedangkan didalam UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditegas-kan bahwa “Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta masyarakat “.
3. Mencermati rumusan kebijakan pemerintah didalam dua dokumen kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan otonomi daerah“. Setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan secara langsung mendukung upaya pemantapan dan penguatan otonomi daerah, dan setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan dan penguatan otonomi daerah akan memberikan dampak terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.
4. Didalam UU. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik “.
5. Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan masyarakat, Badan Pemberda-yaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat sbb :
a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat. (Penjelasannya adalah bahwa kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan kewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakholders pemberdayaan masyarakat).
b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah : “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri “, melalui :
- Peningkatan keswadayaan masyarakat.
- Pemantapan nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
- Pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
- Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.
- Peningkatan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah : “Mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup“ Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah :
- Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
- Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat.
- Pengorganisasian dan pelembagaan masyarakat.
- Pemberdayaan Masyarakat perkotaan dan pedesaan.
- Berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat.
- Pendekatan lintas sektor dan program.
- Mendayagunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.
A. SEKRETARIAT
1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
2. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 4 Tahun 1981 tentang Mekanisme Pengendalian Pelaksanaan Program Masuk Desa.
3. Peraturan Daerah Nomor : 9 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Propinsi Kalimantan Tengah.
4. Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 52 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah.
B. BIDANG KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT.
1. Keputusan Presiden RI Nomor : 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan lain.
2. Instruksi Presiden RI Nomor : 5 Tahun 1995 tentang Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan didaerah.
3. Instruksi Presiden RI Nomor : 1 Tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS).
4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 25 Tahun 1996 tentang Data Dasar Profil Desa/Kelurahan.
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 6 Tahun 2002 tentang Perlombaan Desa dan Perlombaan Kelurahan.
6. Keputusan Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 18 Tahun 2001 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat.
7. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 9 Tahun 2001 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat.
8. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 53 Tahun 2000 tentang Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Mutu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
10. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 17 Tahun 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan didaerah.
11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 28 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Perpustakaan Desa/Kelurahan.
12. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 1985 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Program TNI-ABRI Masuk Desa.
C. BIDANG USAHA EKONOMI MASYARAKAT.
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO CONVENTION Nomor : 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Pengha-pusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
2. Keputusan Presiden RI Nomor : 124 Tahun 2001 jo Nomor : 8 Tahun 2002 jo Nomor : 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak.
4. Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 412.21/748/BPM tanggal 3 Juli 2001 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Proyek PMPD/CERD.
5. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 140/1824/PMD tanggal 12 Desember 2000 Tindak Lanjut Program Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K).
D. BIDANG PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA.
1. Instruksi Presiden RI Nomor : 3 Tahun 2001 tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor : 4 Tahun 2001 tentang Penerapan Teknologi Tepat Guna.
3. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 414.2/842/PMD tanggal 12 Juli 2002 Petunjuk Teknis Operasional PPK.
4. Surat Deputi Bidang Regional dan Sumber Daya Alam Bappenas Nomor : 2874/D.IV/06/2001 tanggal 5 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Pengembangan Prasarana Perdesaaan (P2D).
PROGRAM STRATEGIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PROPINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2004.
A. BIDANG KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT.
1. Program Perlombaan Desa/Kelurahan :
Dalam rangka penilaian terhadap upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kelembagaan, peningkat-an motivasi, partipasi dan kegotongroyongan masyarakat dalam pembangunan desa/kelurahan setiap tahun diselenggarakan perlombaan desa/kelurahan secara berjenjang mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Propinsi. Untuk meme-lihara kualitas pembangunan desa/kelurahan dilakukan pemantauan dan pembinaan pasca lomba kepada desa/kelurahan juara.
2. Program Penguatan Organisasi Masyarakat :
Untuk memperkuat peran dan fungsi LKMD atau sebutan lain sesuai Kepres No 49 Tahun 2001 dilakukan kegiatan penataan dan inventarisasi lembaga masyarakat yang ada disetiap desa/kelurahan, mengidentifikasi kader pemberdayaan masyarakat dan penyelenggaraan pelatihan kelompok masyarakat.
3. Program Penguatan Manajemen Pembangunan Partisipatif :
Sebagai upaya peningkatan keswadayaan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan, sehingga setiap program pembangunan yang dilaksanakan mendapat dukungan masyarakat dan untuk memperkuat pelaksanaan musyawarah pembangunan desa/kelurahan serta penguatan mekanisme perencanaan dari bawah (Bottom up planning), maka perlu dilakukan kegiatan pelatihan kepada masyarakat tentang Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa/Kelurahan (P3MD) agar dapat diterapkan didalam forum Musbangdes/kel melalui dukungan biaya APBD.
4. Program Penguatan Data Dasar Profil / Tipologi Desa/Kelurahan :
Dalam rangka penguatan sistim pendataan Data Dasar Profil Desa/Kelurahan, perlu dilakukan penyusunan program-program pembangunan berdasarkan data obyektif, penyusunan program pembangunan berdasarkan pola prioritas pengembangan potensi desa/kelurahan dan pembangunan pusat data potensi desa/kelurahan di Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Propinsi.
6. Program TNI Polri Manunggal Masuk Desa :
Dalam rangka meningkatkan kemitraan masyarakat dengan TNI Polri dalam pembangunan desa/kelurahan, dilaksanakan kegiatan pembangunan fisik dan nonfisik dilokasi sasaran program.
6. Program Pemberdayaan dan Kesejahte-raan Keluarga (PKK):
Dalam rangka pemberdayaan keluarga dilakukan kegiatan-kegiatan dukungan terhadap pelaksanaan 10 program pokok PKK, kegiatan hari kesatuan gerak PKK, peningkatan kualitas keluarga sejahtera melalui peringatan hari keluarga nasional, pemasyarakatan KHA, KPDW, PPBN dan pencegahan penyalahgunaan narkoba; sosialisai dan pemantauan (TOT Damas, BKB/Keaksaraan fungsional); Pemantauan dan pemantapan Revitalisasi Posyandu dan pelatihan kader PKK.
7. Program Pembinaan Desa Binaan P2WKSS.
a. Membina 28 Desa/Kel lokasi binaan P2WKSS di 14 Kab/Kota.
b. Melaksanakan evaluasi kegiatan pelaksanaan P2WKSS pada 14 Kab/Kel unggulan Kab/Kota untuk penentuan pelaksana terbaik Program P2WKSS terbaik Tk Prop. Kalteng.
8. Program PMT-AS.
Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan program PMT-AS dan pemanfaatan kebun sekolah, dilaksanakan intensifikasi koordinasi lintas sektor serta pembinaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PMT-AS sejalan kebijakan desentralisasi otonomi daerah.
9. Program Pendidikan Luar Sekolah.
Pengembangan Perpustakaan Desa dengan memberikan bimbingan serta pembinaan terhadap pengelola perpustakaan desa/kelurahan.
10. Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan.
Sebagai upaya pelestarian dan pengem-bangan kebudayaan termasuk kebudayaan lokal dalam memperkuat kohesi dan integrasi sosial dan mayarakat lokal perlu dilakukan kegiatan lokakarya dan identifikasi nilai nilai demokrasi berbasis nilai budaya lokal pada adat dayak sehingga diperoleh sejumlah informasi tentang upaya penguatan kohesi masyarakat adat sebagai dasar dalam pelaksanaan demokrasi di desa melalui wadah Badan Perwakilan Desa.
11. Program Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Kesehatan Dasar Keluarga.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga telah dikembangkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), untuk mendukung pelaksanaan fungsi Posyandu dilakukan kegiatan koordinasi lintas sektor dan lintas program, fasilitasi dan pemantauan, pembinaan, bantuan stimulans dan pelatihan kader.
12. Program Peningkatan Keswadayaan Masyarakat.
Pengembangan Sumber Daya Alam dengan memberikan bimbingan dan pembinaan KPM di 50 Desa/Kel.
13. Program Perbaikan Gizi Masyarakat.
a. Memberi bimbingan dan pembinaan ke 50 Desa/Kel lokasi pelaksanaan P2WKSS.
b. Memberikan stimulan berupa bibit dan obat memberantas hama kuman tanaman berupa pestisida.
B. BIDANG USAHA EKONOMI MASYARAKAT.
1. Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa/CERD.
Dalam rangka penguatan kapasitas lembaga masyarakat, penyediaan dana kredit modal usaha bagi masyarakat, pembangunan sarana dan prasarana pede-saan dan kapasitas aparatur pemerintah, dilaksanakan kegiatan pembinaan, pemantauan, evaluasi dan pelatihan penguatan manajemen pengelolaan usaha ekonomi produktif dilokasi sasaran program.
2. Program Pemenuhan Kebutuhan Pokok Keluarga Miskin.
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan program pemenuhan kebutuhan pokok keuarga miskin dilaksanakan kegiatan meningkatkan efektivitas Unit Pengaduan Masyarakat dan Pemantauan (UPMP/Raskin), Pengembangan peran Unit Pengaduan Masyarakat dan Pemantauan (UPMP) dalam Pengelolaan Program Konpensasi Pengurang-an Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BPM) dan Identifikasi data penduduk miskin dan keluarga miskin secara berjenjang mulai dari tingkat desa dan kelurahan.
3. Program Penanggulangan Pekerja Anak.
Dalam rangka mengembalikan para pekerja anak untuk mengikuti program pendidikan dasar 9 tahun, dimana kebanyak-kan bekeja disektor informal akibat putus sekolah akibat ketidak mampuan orang tua membiayai pendidikan mereka diadakan kegiatan sosialisasi, identifikasi, pelatihan TOT, pembinaan dan bantuan penyediaan dana pendukung dan bea siswa dengan dukungan dana APBD.
4. Program Penguatan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan :
Dalam rangka meningkatkan pengelola-an usaha ekonomi produktif perdesaan, dilaksanakan kegiatan identifikasi, pembina-an, monitoring dan pelatihan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan (UED-SP, pokmas IDTdan lain-lain).
5. Fasilitasi pelaksanaan tugas Komite Penanggulangan Kemiskinan :
Dalam rangka meningkatkan koordinasi instansi terkait dan meningkatkan pengeta-huan dan ketrampilan penduduk miskin dalam mengelola usaha ekonomi produktif dilaksanakan kegiatan memfasilitasi penyu-sunan rencana strategis penanggulangan kemiskinan, identifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin, pembinaan dan pelatihan penanggulangan kemiskinan.
6. Dana Pembangunan Desa/Kelurahan :
Dalam rangka mengoptimalkan pelaksa-naan dana pembangunan desa/kelurahan sesuai dengan sasaran dilaksanakan kegiatan pengendalian dan monitoring pelaksanaan penggunaan dana DPD/K.
7. Program Peningkatan Ketahanan Pangan dan Penguatan Institusi Pasar :
Dalam rangka pengembangan dan penguatan Lembaga Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan (LPMD/K) dan menciptakan akses bagi masyarakat dalam pemasaran produk hasil usahanya, dilak-sanakan kegiatan pendataan, identifikasi, sosialiasi dan pelatihan pengelolaan pasar desa, pengembangan program agrobisnis/ agropolitan dan pemantauan pelaksanaan program kompensasi pengurangan subsidi BBM.

C. BIDANG PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DAN TTG.
1. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) :
Dalam rangka meningkatkan dan melestarikan keberhasilan Program PPK di Propinsi Kalimantan Tengah telah dilaksanakan kegiatan Pembinaan dan Monitoring ke 23 Kecamatan lokasi Program PPK di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat dengan dana sebesar Rp. 75.000.000,-
2. Program Pengembangan Prasarana Perdesaan :
a. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air bersih layak konsumsi bagi keluarga miskin dialiran DAS dan Pasang Surut telah dilaksanakan kegiatan Penyediaan Peralatan Air Bersih Sederhana sebanyak 1.800 Unit dan Pembuatan Tabung Arang Aktif sebanyak 12 Unit dengan dana dari APBD Propinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp.1. 140.000.000,-
b. Untuk meningkatkan ke 15 Kecamatan lokasi P2D di Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Barito Utara dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan P2D dengan dana yang tersedia sebesar Rp. 60.000.000,-

3. Program Desiminasi Informasi Teknologi.
Dalam rangka pengembangan Posyantekdes, Wartekdes dan pemasyarakatan Teknologi Tepat Guna serta Pengkajian Partisipatif kebutuhan TTG untuk usaha mikro, usaha kecil dan menengah, dilaksanakan kegiatan pengkajian dan evaluasi pendayagunaan TTG pada 40 Desa/Kelurahan di 14 Kabupaten/Kota dengan dana dari APBD Propinsi sebesar Rp. 30.000.000,- dan mengikuti Pameran/Gelar TTG Tingkat Nasional di Propinsi Jawa Timur yang diikuti oleh 4 Kabupaten/Kota se Kalimantan Tengah dengan dana sebesar Rp. 60.000.000,-.