Menuju Babak Baru Pemerintahan Desa

Sabtu, 26 November 2011

Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Oleh: Hapipi Jayadi A. Pengertian Pembangunan Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.  Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat. Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”. Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional. Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya. Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal. Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Pengertian Pemberdayaan Masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “Empowerment” , yaitu sebagai upaya mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat nelayan adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang amndiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian tentunya diharapkan memberikanperanan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku atau aktor yang menentukan hidup mereka sendiri. Lebih lanjut payne (1997 : 266), mengatakan bahwa: “Empowerment seeks to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. (Pemberdayaan dipandang untuk menolong klien dengan membangkitkan tenaga dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan sepanjang hidup, termasuk mengurangi efek atau akibat dari gejala- gejala pada masyarakat atau individu untuk melatih agar kekuatan itu tumbuh dengan meningkatkan kapasitas percaya diri, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya). Pendekataan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people centered development) melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal, yang merupakan mekanisme perencanaan yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial dan strategi perumusan program. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya. Dalam hal ini, Moelyarto (1999: 37-38) mengemukakan ciri-ciri pendekatan pengelolaan sumber daya lokal yang berbasis masyarakat, meliputi : 1. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi masyarakat setempat dibuat ditingkat local, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan. 2. Fokus utama pengelolaan sumber daya local adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskia dalam mengarahkan aset- asset yang ada dalam masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhannya. 3. Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui makna pilihan individual, dan mengakui proses pengambilan keputusan yang dengan sentralistik. 4. Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi- organisasi yang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi. 5. Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara para pelaku dan organisasi local yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima manfaat, pemerintah lokal, lokal dan sebagainya, yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas berbagai sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya setempat. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberdayaan masyarakat terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, pemahaman mengenai proses adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungannya merupakan informasi penting dalam pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development), yang melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal (community based resource management). Konsep dan Metode Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya. Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI. Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses. Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya, berpartisipasi aktif, serta penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan komitmen yang berlevel internasional. Komitmen ini telah ditandatangani dalam KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189 negara lainnya. Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015. Dalam deklarasinya negara peserta menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000). Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015. Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007). Sebagaimana kita alami, era ini merupakan kehidupan yang bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, penuh resiko, dan penuh dengan kejutan. Dengan demikian individu, kelompok atau komunitas harus melakukan berbagai upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan. Di sisi lain interdependensi antara komunitas, terkecil sekalipun, dan dunia sebagai totalitas, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk menghadapi perubahan sendirian. Apalagi melihat kenyataan, kenaikan harga BBM misalnya, yang merupakan perubahan disektor ekonomi dan energi akan mempengaruhi sector kehidupan yang lain. Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalahatau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community Development, 2001). Pengembangan otonomi daerah yang diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat sangat sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan konsep pemberdayaan masyarakat seperti CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengimplementasikannya. Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi. Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004). Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian. Pemberdayaan Masyarakat Desa Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa Oleh : MG Ana Budi Rahayu Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, gonjang-ganjing mengenai peningkatan taraf hidup petani di pedesaan selalu mengalami dinamika. Apapun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup petani, seringkali menuai kritikan dan kontroversi dari berbagai pihak. Banyak kalangan yang mengatakan petani sebagai "wong cilik" yang kehidupannya semakin tertindas dan harus menjadi tumbal atas kebijakan  perekonomian pemerintah. Kita lihat kembali bagaimana kebijakan penentuan harga dasar gabah, pengurangan subsidi pupuk, mahalnya harga bahan bakar dan baru-baru ini kebijakan import yang dirasa tidak berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan petani.   Disisi lain, pembangunan nasional juga menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Banyak peneliti yang sudah membuktikan bahwa pembangunan semakin memperbesar jurang antara kota dan desa. Sangat disadari, negara berkembang seperti Indonesia mengkonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri yang membutuhkan investasi yang mahal untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya sektor lain seperti  sektor pertanian dikorbankan yang akhirnya pembangunan hanya terpusat di kota-kota.   Hal ini juga sesuai dengan hipotesa Kuznets, bahwa pada tahap pertumbuhan awal pertumbuhan diikuti dengan pemerataan yang buruk dan setelah masuk pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik. (Todaro, 2000) Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan tersebut antara lain karena perbedaan pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, infrastruktur investasi, dan kebijakan (Arndt, 1988). Dewasa ini, telah banyak para ahli pembangunan masyarakat pedesaan yang mengangkat permasalahan ini ke permukaan. Karena sesungguhnya yang terjadi petani tetap miskin, sebab persoalan yang berkaitan dengan produksi seperti kapasitas sumber daya manusia, modal, dan kebijakan tetap sama dari tahun ke tahun walaupun bentuknya berbeda. Studi mengenai kemiskinan pedesaan oleh Sarman dan Sajogyo (2000) menunjukkan bahwa untuk daerah pedesaan di Sulteng mencapai 48,08% sementara untuk perkotaan sekitar 12,24%. Studi ini menggunakan pendekatan jisam (kajian bersama) sehingga kriteria kemiskinan sangat lokalistik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan kepemilikan masyarakat. Banyak proyek/program pemerintah yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan. Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing departemen maupun antar departemen. Pada umumnya proyek-proyek yang digulirkan masih pada generasi pemberian bantuan fisik kepada masyarakat. Baik berupa sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, pembangunan sarana air bersih dan sebagainya. Kenyataannya, ketika proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah tidak berfungsi atau bahkan hilang. beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain, yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan bantuan yang diberikan (2) paket proyek tidak dilengkapi dengan ketrampilan yang mendukung (3) tidak ada kegiatan monitoring yang terencana (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek. Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, generasi selanjutnya proyek-proyek mulai dilengkapi dengan aspek lain seperti pelatihan untuk ketrampilan, pembentukan kelembagaan di tingkat masyarakat, keberadaan petugas lapang, melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Atau dengan kata lain beberapa proyek dikelola dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, hasil proyek lebih lama dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan berkembang memberikan dampak positif.      Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (Sumber Daya Manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan. Telaah lebih lanjut paper ini adalah bagaimanakah peran pemberdayaan masyarakat desa dalam program-program pemerintah untuk peningkatan pendapatan. Kemudian seberapa besarkah kegiatan ekonomi masyarakat desa mendukung perekonomian nasional. Topik tersebut masih relevan untuk dibahas bagi agenda pembangunan ekonomi Indonesia ke depan,  mengingat keberadaan masyarakat desa dari sisi kualitas dan kuantitas menjadi peluang dan tantangan. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DESA Untuk memulihkan kondisi ekonomi yang memburuk akibat munculnya krisis ekonomi, diperlukan upaya yang kom-prehensif dan efektif sebagaimana yang tercantum dalam program pembangunan nasional (Propenas) 2001-2005 yang menghendaki agar dilaksanakannya pro-gram pemberdayaan masyarakat untuk memulihkan kondisi ekonomi. Kesenjangan merupakan kenyataan yang ada dalam pembangunan yang memerlukan pemecahan dengan pemi-hakan dan pemberdayaan bagi pelaku ekonomi lemah secara nyata (Somoedi-ningrat, 1997). Oleh karena itu, akan diusahakan pergeseran dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemerataan dengan ke-kuatan ekonomi rakyat, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi dengan mem-berikan kepada mereka kesempatan yang sama seperti kesempatan yang diberikan kepada usaha besar. Konsep pemberdayaan merupakan paradigma baru dalam pembangunan ma-syarakat yang melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun eva-luasi. Priyono (1996) memberikan makna pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baikdalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Mem-berdayakan masyarakat mengandung mak-na mengembangkan, memandirikan, men-swadayakan dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah ter-hadap kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Pemberdayaan masyarakat harus dipandang sebagai upaya untuk mem-percepat dan memperluas upaya penang-gulangan kemiskinan melalui koordinasi berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, baik di tingkat pusat ma-upun daerah sehingga efektivitasnya me-miliki signifikansi yang besar terhadap penanggulangan kemiskinan. Pembangunan Daerah Kabupaten Si-doarjo melalui program-programnya se-perti Gardu Taskin (Gerakan Mendukung Pengentasan Kemiskinan, bantuan lang-sung desa tertinggal non IDT, JPS, dan GKD telah banyak melakukan usaha pengentasan kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pedesaan, khu-susnya di Desa Kedungrejo, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo dengan ke-bijakan utama pengembangan industri kecil atau industri rumah tangga. Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk/macam pemberda-yaan ekonomi masyarakat di pedesaan? 2. Bagaimana proses pelaksanaan pem-berdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan? 3. Bagamana peran stakeholders (pe-merintah dan kelompok) dalam pem-berdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan? 4. Kendala-kendala apa yang meng-hambat program pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan? Tujuan dari penelitian ini adalah se-bagai berikut: 1. Mendeskripsikan bentuk/macam pem-berdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan. 2. Mendeskripsikan dan menganalisa pro-ses pelaksanaan pemberdayaan eko-nomi masyarakat di pedesaan. 3. Mendeskripsikan peran stakeholders dalam pemberdayaan ekonomi masya-rakat di pedesaan. 4. Mengetahui kendala-kendala yang di-hadapi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN Posted by WAHYU KRISNANTO 18:57, under | No comments Konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah mulai dikenalkan oleh pemerintah sejak awal tahun 1980-an melalui istilah pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun serta menjaga lingkungan dimana mereka berada. Untuk mensukseskan gerakan pemberdayaan masyarakat tersebut kemudian pemerintah membentuk beberapa lembaga akar rumput, LKMD/k, PKK, dan Karang Taruna sebagai wadah dalam mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dan menjunjung solidaritas bersama. Penggiat pemberdaya masyarakat kebanyakan adalah staf pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah yang bekerja sebagai penghubung antara kebijakan serta agenda pembangunan dengan apa yang harus dilakukan oleh komunitas. MEMAHAMI PARTISIPASI Dalam berbagai literatur, partisipasi masyarakat dalam pembangunan diinterpretasikan bermacam-macam, diantaranya: ”Partisipasi adalah gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta dalm mengevaluasinya.”(Upholf,1992). ”Partisipasi adalah suatu proses dimana sebagai pelaku (stakeholders) dapat mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pebangunan, keputusan serta pengalokasian berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka.” (Bank Dunia, 1994). Dari intepretasi diatas dapat ditarik garis besarnya yang kesemuanya menekankan tentang hak yang dimilki masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam ikut menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupannya. Artinya bahwa masyarakat emilikli hak hak untuk berperan dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dari pembangunan itu sendiri. Secara sederhana partisipasi adalah alat untuk mewujudkan pengaruh dari individu/kelompok yang selama tidak dianggap/diperhitungkan dalam perumusan sera penetapan kebijakan publik. TINGKAT PARTISIPASI Untuk membedakan antara satu bentuk dengan lainnya, partisipasi dapat dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu:  Pertama, Manipulasi yaitu tingkat partisipasi yang terendah dan dapat dikategorikan sebagai tidak adanya partisipasi. Dalam tingkat ini, partisipasi difungsikan sebagai kesempatan untuk memaksakan kehendak pihak yang lebih berkuasa.  Kedua, penyebarluasan informasi dimana berbagai pelaku telah diinformasikan mengenai hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka, namun partisipasi dalam tingkat ini difungsikan sebagai komunikasi satu arah dan tidak terbuka kesempatan untuk bernegosiasi dan menyatakan pendapat.  Ketiga, konsultasi yaitu tingkat partisipasi yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah dan pelaku dapat mengekspresikan pendapat dan pandangannya, tetapi tidak ada jaminan bahwa masukan-masukan mereka akan digunakan.  Ke-empat, membangun kesepakatan, yaitu dimana berbagai pelaku berhubungan untuk dapat saling memahami antara satu dengan yang lainnya, bernegosiasi dan berkompromi terhadap bermacam hal yang paling diterima oleh semua.  Kelima, pengambilan keputusan, yaitu dimana konsensus dihasilkan berdasarkan kesepakatan bersama dan terjadi pembagian tanggung jawab antara berbagai pelaku yang terlibat.Dalam tingkat ini, negosiasi dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan kepada seluruh pelaku dalam menyuarakan aspirasinya.  Ke-enam, kemitraan, yaitu suatu hubungan kerja yang sinergis diantara berbagai pelaku untuk mewujudkan tujuan yang disepakati bersama. Di tingkat ini, para pelaku melakukan pembagian tanggung jawab serta resiko dari konsensus yang mereka hasilkan. KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT. 1. Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam GBHN Tahun 1999, khususnya didalam “Arah Kebijakan Pembangunan Daerah”, antara lain dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI “. 2. Sedangkan didalam UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditegas-kan bahwa “Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta masyarakat “. 3. Mencermati rumusan kebijakan pemerintah didalam dua dokumen kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan otonomi daerah“. Setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan secara langsung mendukung upaya pemantapan dan penguatan otonomi daerah, dan setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan dan penguatan otonomi daerah akan memberikan dampak terhadap upaya pemberdayaan masyarakat. 4. Didalam UU. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik “. 5. Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan masyarakat, Badan Pemberda-yaan Masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat sbb : a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat. (Penjelasannya adalah bahwa kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan kewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakholders pemberdayaan masyarakat). b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah : “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri “, melalui : - Peningkatan keswadayaan masyarakat. - Pemantapan nilai-nilai sosial budaya masyarakat. - Pengembangan usaha ekonomi masyarakat. - Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan. - Peningkatan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. c. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah : “Mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup“ Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah : - Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. - Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat. - Pengorganisasian dan pelembagaan masyarakat. - Pemberdayaan Masyarakat perkotaan dan pedesaan. - Berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat. - Pendekatan lintas sektor dan program. - Mendayagunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Strategi Pemberdayaan Masyarakat 1. Proses Pemberdayaan. Paradigma pemberdayaan (empowerment) adalah pemberian kesempatan kerja kelompok untuk merencanakan kemudian melaksanakan program pembangunan tersebut yang mereka pilih sendiri. Maksud dari pemberdayaan itu adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelompok. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur utama/dasar yang memungkinkan suatu masyarakat itu dapat bertahan dan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan. Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dengan orientasi pembangunan yang berpusat pada masyarakat antara lain dapat dilkukan melalui pendekatan kelembagaan. Dengan pendekatan pembangunan seperti ini maka pembangunan diartikan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya dengan implikasi capacity, empowerment, dan sustanable (Brynt & White, 1987). Pembangunan haruslah memiliki visi pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, sebab sepanjang jaman keswadayaan merupakan sumber daya kehidupan yang abadi dan manusia menjadi intinya atau fokusnya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya ditengah masyarakat lainnya. Proses Pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Secara individual 2. Secara kolektif/kelompok Proses pemberdayan dengan pendekatan individual akan lebih lambat berkembang dan cakupannya lebih sempit dibanding dengan pendekatan secara kolektif dan kelompok. Hal ini disebabkan karena didalam kelompok terjadi proses interaksi yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas. Disamping itu pula perubahan pola pikir petani melalui aktifitas individu biasanya lebih lambat dibanding dengan petani yang aktif dalam kegiatan kelompok. Demikian pula penerapan inovasi baru melalui aktifitas kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibanding jika disampaikan melalui pendekatan individu. Ikatan dalam kelompok terbentuk karena adanya pandangan dan kebutuhan yang sama yang hendak dicapai. Untuk memperkuat kesadaran dan solidaritas maka kelompok harus menumbuhkan identitas seragam dalam mengenali kepentingan dan tujuan mereka bersama. Bila anggota kelompok belum seragam mengenali kepentingan dan tujuan bersama yang hendak dicapai bahkan sering samar, tidak jelas atau tidak diketahui maka kelompok itu tidak dinamis bahkan lambat laun akan bubar dengan sendirinya. Ada lima misi utama program pemberdayaan masyarakat yang menjamin tercapainya hasil yang baik adalah sebagai berikut: Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 209 1. Penyadaran Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan tidak mampu mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak mereka miliki. Akibatnya banyak potensi yang tak termanfaatkan atau mubasir, sementara kehidupan masyarakatnya memprihatinkan. Oleh karena itu sering kita jumpai ironi dalam masyarakat ibarat ”ayam lapar di lumbung padi” atau ” itik kehausan ditengah sungai”. Oleh karena itu penyadaaran ini penting agar masyarakat desa tahu potensi, peluang, ancaman dan tantangan di masa depan. 2. Pengorganisasian Satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan organisasi komunitas lokal adalah paternalisme.dari para perencana. Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional yang lemah maka mereka secara refleksi memperkenalkan organisasi modern dengan bentuk dan pola yang serba seragam dengan daerah lain. Padahal organisasi modern tersebut belum tentu sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Alhasil banyak organisasi introduksi tersebut tidak melembaga dalam masyarakat. Mungkin organisasi tersebut berhasil di suatu tempat tetapi belum tentu berhasil di tempat lain. Kelembagaan yang hakiki haruslah berawal dari prakarsa masyarkat secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Kinerja kelembagaan lokal itu perlu dinilai kembali, disempurnakan dan terus dimotivasi agar nilai-nilai dan norma yang terkandung didalamnya dapat lebih hidup dan menjiwai kelembagan itu. Seperti semangat ”Mapalus” dimasyarakat Minahasa, ”Sisaro” di Tana Toraja, dll. Dengan demikian kelembagaan itu dapat berkembang menjadi ”biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kina terbuka dan kompetitif. 3. Kaderisasi pendampingan Setiap program pembangunan ada jangka waktu pelaksanaannya. Selama progrma tersebut berjalam masyarakat berpartisipasi aktif karena ada tujuan yang didapat didalamnya, misalnya gaji/upah, kesempatan kerja yang bersifat jangka pendek. Namun setelah pembanguna itu berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan berangsur-angsur hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi. Oleh sebab itu sebelum pembangunan tersebut berkahir seharusnya masyarakat dipersiapkan untuk melanjutkan memelihara dan mengembangkan sendiri secara swadaya karena selama pelaksanan pembangunan tersebut itu merupakan kegaitan investasi awal dari pemerintah atau swasta. Jadi setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk memerankan diri sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 210 pendamping bagi masyarakat. Disinilah peran strategis LSM lokal untuk melakukan pendampingan agar partisipasi masyarakat terus tumbuh berkembang dalam mendukung setiap pembangunan. 4. Dukungan teknis Pembaharuan dalam suatu masyarakat umumnya memerlukan bantuan teknis dari suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat perubahan itu menjadi kenyataan. Organisasi pendukung teknis sebaiknya dari insitusi yang berkompten untuk itu seperti peneliti atau penyuluh atau aparat dinas terkait atau juga tenaga profesional lainnya dari perusahaan swasta. 5. Pengelolaan Sistem Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam hal pendanaannya. Disamping itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk mensinergikan kepentingan antar lembaga yang terkait untuk itu diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang baik. 2. Teknik Pemberdayaan Masyarakat Menurut pengalaman pendampingan masyarakat seperti yang dilakukan oleh P3AE-UI dkk. di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Gunung Betung Propinsi Lampung, pada tahap awal yang terpenting dilakukan adalah membangun fondasi sosial karena fondasi sosial merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan masyarakat terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial sebaiknya lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain dalam rangka pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelolah sumberdaya hutan. Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri: a. Membangun kedekatan Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat. b. Membangun pertemanan Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 211 itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsip-prinsip pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan keadilan. Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat, mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama. Suatu hal yang sangat perlu ditumbuh kembangkan dalam pertemanan adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individu-individu yang berbeda. c. Membangun kepercayaan Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat. Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan. d. Membangun keterbukaan Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya. Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 212 e. Membangun kerjasama Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing individu. Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping memikirkan perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Setelah masyarakat memahami, mau dan mampu bekerjasama, maka kegiatan-kegiatan bermusyawarah mulai dapat dilakukan. Pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah dan keinginan dalam pengelolaan kebun garapan di kawasan hutan dapat dijadwalkan secara berkala. Kemudian bagaimana melakukan kerjasama menggarap kebun dan bagaimana melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan kepastian jaminan atas status pengelolaan lahan garapannya tersebut. f. Membangun kelompok Kerjasama dengan berbagai aktivitasnya merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu diperlukan wadah yang dapat menampung dinamika kerjasama tersebut. Pada status yang demikian perlu dibentuk kelompok sebagai wujud atau wadah dari interaksi atau kerjasama yang sudah dan sedang dibangun. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut dimaksudkan agar kerjasama diantara anggota kelompok akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pembentukan kelompok di samping mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, juga mempertimbangkan kesatuan lokasi garapan dan kesatuan lokasi tempat tinggal. g. Membangun kelembagaan Kelembagaan merupakan kelanjutan dari kelompok yang telah dilengkapi dengan pranata-pranata atau aturan-aturan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok. Di samping itu kelompok yang sudah melembaga juga memiliki struktur kepengurusan sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati para anggotanya. Dengan demikian mekanisme kerja kelompok menjadi lebih sistematis dan terpimpin. Suatu hal yang perlu dipahami dan ditekankan bahwa peran kepengurusan di dalam membangun kelembagaan adalah mewakili, memfasilitasi dan melaksanakan kesepakatan atau kerjasama yang diputuskan oleh seluruh anggota kelompok. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 213 Kelembagaan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengelolaan lahan garapan di dalam kawasan hutan di Sumber Agung, Gunung Betung, bukan hanya sekedar bertujuan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kepastian jaminan dari pemerintah. Akan tetapi dalam membangun kelembagaan yang lebih penting adalah bagaimana mencapai kemandirian masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera. Seluruh proses pemdampingan masyarakat seperti telah diuraikan di atas sebaiknya dilakukan dengan konsep belajar bersama dan mengikuti arus perkembangan yang diinginkan masyarakat. Belajar bersama artinya baik pendamping maupun masyarakat dalam kegiatan ini tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih tahu atau lebih mampu dari pada yang lain. Akan tetapi mereka sama-sama menyadari bahwa pendamping harus belajar dari masyarakat karena kenyataannya masyarakatlah yang lebih tahu tentang diri mereka sendiri, demikian juga masyarakat belajar dari pendamping karena kenyataannya pendamping lebih banyak mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketentuan-ketentuan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Demikian juga tentang hal-hal yang lain menyangkut pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, mereka saling belajar. Sedangkan mengikuti arus keinginan masyarakat pengertiannya adalah bahwa proses pendampingan yang dilakukan tidak membuat target-target tertentu yang dibatasi oleh waktu ataupun hasil yang harus dicapai dengan cara setengah dipaksakan. Karena praktek pendampingan yang dibatasi oleh waktu dan setengah dipaksakan banyak mengalami kegagalan, sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada berbagai proyek pada masa lalu. 3. Strategi Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Dalam pengembangan kelembagaan, Jefta Leibo dalam Sudibyo dan Sudayatna (2004) mengemukakan beberapa strategi sebagai berikut: a. Strategi gotong royong Mendasarkan pada asumsi-asumsi paradigma struktural-fungsional kelembagaan, strategi gotong royong melihat masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian yang terintegrasi secara normatif, yang mana tiap-tiap bagian memberikan sumbangan fungsional masing-masing bagi pencapaian tujuan masyarakat sebagai keseluruhan. Strategi ini menganjurkan perubahan/pengembangan dilakukan atas dasar partisipasi luas seluruh lapisan masyarakat didalam proses pengambilan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan masyarakat. b. Strategi teknikal-profesional Pada dasarnya strategi ini tidak banyak berbeda dengan strategi gotong royong. Yang membedakan pada pokoknya adalah strategi ini memberikan peranan yang lebih kritikal pada agen-agen pembaharuan didalam menetukan program-program pembengunan, menyediakan pelayanan-pelayanan yang diperlukan, dan menentukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk merealisasikan program-program yang ditentukan. Strategi teknikal-profesional hanya memberikan kepada kelompok-keompok kerja dan organisasi yang terdiri dari Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 214 atas sejumlah kecil warga masyarakat “terpilih” yang dimobilisasi untuk mengorganisasikan informasi-informasi mengurangi rasa takut masyarakat terhadap resiko yang berhubungan dengan adopsi inovasi baru, menemukan cara-cara yang lebih kreatif untuk menyesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. c. Strategi konflik Strategi konflik melihat masyarakat melalui suatu diskriminasi yang sangat tajam tentang perbedaan antara dua macam citra tentang struktur sosial dan perubahan kemasyarakat. Strategi konflik mengnggap bahwa “paksaan” atau “kekuasaan” adalah merupakan landasan yang lebih realistik bagi tertib sosial setiap masyarakat. Strategi konflik menyatakan bahwa sebagai suatu sistem kemasyarakat, masyarakat memelihara dan menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang terus-menerus berubah melalaui alokasi dan penggunaan kekuasaan. Dari beberapa strategi di atas, mana yang sesuai untuk diterapkan dalam pengembangan kelembagaan masyarakat pedesaan yang kita hadapi, tentunya perlu dikaji lebih lanjut sesuai dengan karakteristik masyarakat yang bersangkutan dan perkembangan sosial masyarakat yang ada. Kombinasi dari beberapa strategi juga memungkinkan untuk diadopsi aspek-aspek positipnya. B. Teknik-Teknik Kajian Partisipatif (PRA) Sebenarnya banyak teknik kajian partisipatif dalam PRA, namun pada bahan ini hanya akan disampaikan beberapa teknik saja yang sangat relevan untuk penerapan pemberdayaan masyarakat dalam basis pengelolaan hutan rakyat. Sehingga yang menjadi unit pengkajian dalam kegiatan ini adalah hutan hutan rakyat dan masyarakat yang memanfaatkannya. Berikut kita bahas secara singkat beberapa teknik kajian dimaksud. 1. Identifikasi masyarakat desa dan stratifikasi pemanfaatan hutan rakyat a. Tujuan Secara umum masayarakat desa tidak mempunyai peran dan ketergantungan yang sama terhadap hutan rakyat di sekitar desa tempat tinggalnya. Tujuan kegiatan ini adalah mengetahui nama dan asal kampung orang-orang yang aktivitas kehidupannya terjadi interaksi dengan hutan rakyat, kemudian menyusun stratifikasi berdasarkan jenis kegiatan dan tingkat intensitasnya dalam memanfaatkan hutan rakyat tersebut. b. Langkah-langkah - gunakan metode diskusi kelompok dengan masyarakat untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan; - rumuskan bersama kriteria aktivitas kehidupan masyarakat yang berinteraksi dengan hutan rakyat; - kelompok masyarakat diminta untuk menyebutkan nama asal anggota masyarakat yang aktivitas kehidupannya berinteraksi dengan hutan rakyat. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan 215 c. Hasil kegiatan yang diharapkan - daftar nama serta asal orang-orang yang memanfaatkan hutan rakyat; - jenis-jenis kegiatan da

Tidak ada komentar:

Posting Komentar